Sunda sebagi entitas budaya memiliki etos yang mempengaruhi masyarakatnya dalam berbudaya dan bersosial yaitu “Cageur, Bageur, Singer dan Pinter”. Secara umum dapat kita pahami maksud dari kata-kata tersebut. Pertama Cageur, cageur memiliki arti sehat. Namun sehat disini dikhususkan pada sehat secara mental, waras, sadar.
Artinya, jika kita memahami secara arif maksud dari kata cageur yaitu masyarakat sunda dalam berbudaya dan bersosial tak lepas dengan kesadaran mental terhadap apa yang dikakukannya sehingga hal ini berimplikiasi pada tanggungjawab dan dedikasi yang tinggi dalam segala tingkah laku dan perbuatan masyarakat sunda. Kedua Bageur, bageur memilik arti baik. Budaya sunda mengajarkan tentang kebaikan dalam berbudaya dan bermasyarakat bagi warganya,
I’tikat baik ini memiliki sifat inklusif (red_dapat diterima dimanapun). Ketiga Singer, singer memiliki arti sehat, namun yang dimaksud sehat disini yaitu sehat secar fisik atau kuat, tentunya kuat memiliki arti yang luas salah satunya yaitu kuat secar kekuasaan, kuat secara pengaruh dll. Keempat Pinter, pinter memiliki arti yang sama dengan bahasa indonesia yaitu pinter itu sendiri, namun pinter disisni memiliki arti lebih tinggi yaitu cerdas, etos budaya cerdas ini mengajarkan masyarakatnya selalu dinamis dalam hal pemikiran dan tindakan. Oleh karena itu keempat etos budaya diatas memiliki peran yang sangat signifikan khususnya bagi masyarakat sunda dalam berbudaya.
Tentunya sebagai budaya, sunda memiliki nilai-nilai kebudayaan (Culture Values). Masyarakat sunda dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecendrungan ini lahir dari istilah yang dikenal dengan “Silih Asih, Silih Asah, Silih asuh”; yaitu saling mengasihi (mengutakan sifat welas asih dan saling memberi ketimbang individualistis materialis). Saling menyempurnakan, saling memperkuat dan atau saling memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu dan atau gotong royong kemufakatan). dan saling melindungi (saling menjaga keselamatan).
Secara artistik, sunda memiliki banyak kesenian diantaranya yaitu;
kesenian sisingan adalah kesenian asli sunda yang menampilkan 2 sampai 4 boneka atau miniatur singa yang di usung oleh para pemainnya dengan diiring tarian, keseniaan sisingan biasanya di demonstrasikan pada acara seperti khitanan dan atau pagelaran seni sunda.
Wayang golek adalah boneka kayu yang membawakan karakter-karakter tertentu dalam suatu cerita baik cerita pewayangan maupun cerita fakta lainnya, adapun pemainnya disebut sebagai dalang yang menguasai karakter dan mampu mmguasai suara karakter tokoh yang dimainkan.
Jaipong merupakan seni tari asli sunda yang diiringi musik khas sunda.
Dan masih banyak lagi seperti misalnya alat musik asli sunda diantaranya angklung, suling, kecapi, calung dll.
Sunda sebagai salah satu kearifan lokal (local wisdom) bangsa Indonesia memiliki karakteristik yang unik dengan keuniversalitasannya. namun ada sebuah pepatah mengatakan “anakmu bukan lahir dari rahim ibu kandungmu, akan tetapi lahir dari zamannya sendiri” jika dilihat dari sisi negatifnya, pepatah tersebut seolah menerjang generasi muda sunda yang semakin meluntur akan kayanya budaya sunda yang dimilikinya, dimana mereka lupa akan tempat lahirnya sendiri yaitu dari rahim sunda, sehingga zaman yang tidak dipahami secara mendalam tentang integritas perkembangan zaman dengan kearifan local sunda membawa generasi muda seolah lupa akan budayanya sendiri, begitu banyak masyarakat khususnya generasi muda yang tidak mengenal aneka seni asli sunda.
Tentunya  ekses globalisasi dan glamorisme  terhadap lokal wisdom budaya sunda menjadikan budaya sunda mulai tergerus eksistensinya hal ini karena tidak begitu di cermati, namun diikuti tanpa adanya batasan. Ekses pemahaman terhadap teknologi pun tak luput dari sorotan generasi muda, dimana peran teknologi seharusnya menjadikan generasi muda lebih dinamis dalam berkearifan local, namun malah semakin melunturkan focus generasi muda untuk lebih memahami dan mengimplementasikan dalam kebudayaannya. Hal tersebut tentunya terjadi karena banyak factor, masyarakat Sunda saat sekarang ini memiliki berbagai latar belakang yang berbeda-beda, selain itu kondisi modernitas yang melingkari anak muda sunda turut memberikan perubahan yang cepat termasuk dalam berbudaya itu sendiri. Misalkan saja di kota Bandung seolah berada dalam situasi ambigu secara dimensi cultural. Dan jika generasi muda sadar akan hal itu, seharusnya kondisi seperti ini mendorong generasi muda untuk mencari jati diri dan membangun struktur dasar kebudayaan masyarakat Sunda kontemporer yang dilandasi semangat yang plural dan modern tanpa menghilangkan niali-nilai dasar akan budaya sunda, sepertinya hal itu lebih baik ketimbang generasi muda sunda perlahan-lahan kehilangan tempat tinggal dan jati dirinya yang luhur.
Pramoedya Ananta Toer menyatakan bahwa lokalitas bukan ruang terkecil yang tak tahu bagaimana menanggapi hegemoni asing. Lokalitas juga bukan ruang kosong tanpa perlawanan. Lokalitas adalah sebuah ruang gerak dan relasi penuh percakapan dan perdebatan yang memungkinkan berbagai macam pencarian posisi-posisi baru. Lokalitas adalah bangunan social dimana daya tawar beroperasi dan proses produksi dan reproduksi berlangsung
Mengamati kutipan Pramoedya bisa kita pahami, sejatinya lokalitas dalam konteks budaya dan kearifan local bukan sebuah hal untuk membuat civitas cultural statis dalam menanggapi segala hal yang masuk, integritas antara kearifan local dengan wacana global memang seharusnya bisa dikolaborasikan dengan tujuan menambah khazanah kebudayaan klasik dan kontemporer budaya sunda. Lokalitas budaya sunda seharusnya menjadi ruang gerak bukan apatisme social yang mungkin meruntuhkan eksistensi dasar budaya. Lokalitas sebagai sebuah wadah komunikasi dan relasi juga seharusnya bisa dipahami lebih arif, mengingat adanya teknologi informasi seharusnya menjadi sarana memperkaya komunikasi internal lokalitas namun seolah malah menjadi jurang pemisah komunikasi. Fenomena jejaring social misalkan, generasi muda lebih asik dengan dunianya sendiri ketimbang dengan lingkungannya yang sarat dengan implementasi nilai-niliai dan karakter budayanya, hal ini jika dibiarkan terus menerus tentunya akan berimplikasi negative (negative implication) terhadap keberlangsungan karakter dan nilai budaya sunda seperti yang telah disinggung diatas.
Ketahanan budaya dan kepribadian yang mendegradasi generasi muda tentunya menjadi masalah yang sangat serius khususnya bagi keberlangsungan budaya sunda, mengingat generasi muda adalah generasi penerus dan pelaksana di masa depan. Jika titik saat ini mengerucut kepada pelunturan dan disorientasi akan budaya dasarnya, bagaimana harapan positif bisa di tumbuhkan di masa mendatang. Memang tak bisa dipungkiri, cepatnya perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi, dan derasnya arus informasi global berdampak pada penetrasi budaya asing. Hal ini mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku generasi muda di Jawa Barat. Persoalan tersebut dapat dilihat dari kurang berkembangnya kemandirian, kreativitas, serta produktivitas dikalangan generasi muda, sehingga generasi muda kurang dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan yang sesuai dengan karakter daerah, hal ini sungguh sangat misris dan sangat disayangkan. Namun kutipan pramudya sedikitnya mampun membangun perspektif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar, termasuk globalisasi dan perkembangan teknologi informasi. Namun setidaknya yang harus di garis bawahi adalah adanya pengaruh luar jangan sampai menjadikan titik balik dari nilai-nilai budaya sunda, dimana budaya sunda mengajarkan untuk saling berbagi namun disisi lain globalisasi berkecendrungan membangun budaya individual dan materialistis ika tidak disaring dengan baik, sehingga hal ini menjadi bersebrangan dengan keluhuran nilai-nilai budaya sunda.
Di sisi lain, permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah era globalisasi yang terjadi diberbagai aspek kehidupan yang sangat mempengaruhi daya saing generasi muda. Sehingga generasi muda baik langsung maupun tidak langsung dituntut untuk mempunyai keterampilan, baik bersifat keterampilan praktis maupun keterampilan yang menggunakan teknologi tinggi untuk mampu bersaing dalam menciptakan lapangan kerja atau mengembangkan jenis pekerjaan yang sedang dijalaninya.
Cepat atau lambat, hal ini akan mengancam upaya pembentukan moral dan agama yang kuat di kalangan generasi muda. Tantangan lain adalah belum terumuskannya kebijakan pembangunan bidang pemuda secara serasi, menyeluruh, terintegrasi dan terkoordinasi antara kebijakan di tingkat nasional dengan kebijakan di tingkat daerah.
Melunturnya generasi muda akan budaya dasar sunda sudah saatnya distrukturalisasi oleh semua elemen, temasuk pemerintah daerah sebagai penaung dan pioneer ketahanan budaya. Concern generasi muda yang agamis juga memang tak kalah penting.
Menurut Azyumardi Azra [3] generasi muda yang agamis dapat dilihat dari tiga kategori, pertama, generasi muda yang memiliki visi, yakni generasi muda yang mau membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah. Selanjutnya, dalam konteks ke-Islam-an generasi muda seharusnya memiliki nilai, yaitu berupa usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al-Qur’an. dan yang terakhir, generasi muda yang memiliki keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan dalam pemberdayaan umat.
Generasi muda secara agamis dan berbudaya dalam arti luas dapat dipandang sebagai proses pengembangan potensi diri manusia yang telah ada secara alami. Potensi diri yang dimaksud adalah kemampuan intelejensia, emosional, spiritual, dan aksional. Usaha peningkatan potensi diri tersebut diupayakan agar mencapai kemampuan yang dikehendaki sampai derajat tertentu. Pada masyarakat Sunda, seseorang bisa dikatakan memiliki potensi diri berdasarkan derajat yang diharapkan jika memenuhi adeg-adeg manusia Sunda sebagai berikut:
 Luhung elmuna yaitu generasi muda yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan memiliki daya saing tinggi;
Pengkuh agamana yaitu generasi muda yang memiliki keimanan dan ketakwaan (imtak);
Jembar budayana yaitu generasi muda yang “tidak gagap budaya”, tidak kehilangan jati diri, dan memegang teguh prinsip pribadinya;
Rancage gawena yaitu generasi muda yang berprestasi, berprilaku aktif, mampu mengimplementasikan berbagai program kerja dengan baik, ngigelan jeung ngigel keun jaman.
Untuk mencapai derajat tersebut, para sesepuh masyarakat Sunda memiliki cara pendidikan yang mengacu pada kebiasaan para orang tua dahulu dengan metode 5 (lima) S yaitu:
Silib yaitu sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi dikias kan pada hal lain
Sindir yaitu sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi menggunakan susunan kalimat yang berbeda
Simbul yaitu menyampaikan sesuatu maksud dalam bentuk lambang;
Siloka yaitu menyampaikan sesuatu maksud dalam bentuk pengandaian;
Sasmita yaitu pemaknaan yang berkaitan dengan perasaan hati.
Berdasarkan metode tersebut, wujud sosok generasi muda Sunda akan tercapai dalam diri yang ditandai oleh sifat-sifat unggul yaitu:
Cageur yaitu generasi muda yang sehat fisik dan psikisnya;
Bageur yaitu generasi muda yang hidupnya selalu taat hukum, baik hukum agama, hukum positif, maupun hukum adat;
Bener yaitu generasi muda yang jelas tujuan hidupnya, beriman dan bertakwa, memiliki visi dan misi yang baik dan terukur;
Pinter yaitu generasi muda yang berilmu, berprestasi, arif, bijaksana, serta mampu mengatasi berbagai masalah dengan baik dan benar;
Singer yaitu generasi muda yang proaktif, beretos kerja tinggi, terampil dan berpres tasi;
Teger yaitu generasi muda yang kuat hati, teguh, tangguh, dan tidak mudah putus asa;
Pangger yaitu generasi muda yang teguh dan berpendirian kuat, tidak mudah tergoda;
Beleger yaitu generasi muda yang jujur, adil, amanah, mampu memegang kepercayaan yang diterima dirinya.